Monday, August 5, 2013

Tradisi Gelar Pitu Di Kabupaten Banyuwangi

Tradisi Gelar Pitu Di Kabupaten Banyuwangi
BANYUWANGI  merupakan salah satu daerah di  Jawa Timur  yang kaya akan seni Budaya, Masayarakat Banyuwangi sangat menjunjung tinggi tradisi yang telah ada dari zaman nenek moyang beberapa tahun silam. Salah satu tradisi yang masih di jaga oleh masyarakat Banyuwangi adalah Tradisi Gelar Pitu di Desa Glagah (30 Menit Perjalanan dari Pusat Kota)
Setiap Lebaran hari ketujuh atau 7 Syawal tahun Hijriyah, warga Dukuh Kopen Kidul, Dusun Kampung Baru, Desa / Kecamatan Glagah, memperingati Lebaran Ketupat yang disebut Gelar Pitu.
Istilah gelar Pitu berasal dari kata Gelar yang artinya menggelar atau menata, sedangkan pitu berarti pitutur atau ucapan. Jadi jika di artikan Gelar Pitu mengandung makna menata ucapan dari buyut Saridin, yang telah memberikan tujuh wejangan kepada keturunannya. Salah satu isi wejangannya adalah keturunan Mbah Saridin diminta melaksanakan sedekah bumi yang dilaksanakan di halaman atau di tengah jalan. Selamatan itu dilaksanakan dengan menggunakan pelepah pisang atau biasa di sebutAncak. Tradisi ini menurut tokoh yang dituakan di desa tersebut telah di laksanakan sejak akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20.
Dalam tradisi ini, masyarakat setempat menggelar ritual penyucian Barong dan mahkota (omprok) Seblang serta gunungan ketupat yang diarak dan didoakan di makam leluhur; Mbah Saridin; yang diyakini sebagai pelopor pembabat hutan untuk di jadikan perkampungan.
Setiap tahunnya tampak warga sesepuh adat mensucikan barong, mahkota Seblang, dan gunungan ketupat di makam leluhur. Kegiatan ini bertujuan untuk menolak bala dan wujud sukur atas keamanan dan rejeki.
Dalam Tradisi ini terdapat pula alunan musik yang terdengar begitu unik dan menggema dari pengeras suara yang terpasang, suara alunan musik yang rancak dalam tradisi ini sangat berbeda dari suara alat music yang kita kenal.
Alunan suara yang sangat rancak dan ceria tersebut di alunkan oleh beberapa buah lesung (peralatan dapur Tradisonal) yang di tabuh oleh delapan perempuan, sang penabuh selalu menunjukkan senyum kecil yang tak henti-hentinya merka suguhkan; hal ini di lakukan untuk mennjukkan rasa bahagia, oleh warga sekitar kegiatan ini di sebut Gedogan.
Kegiatan tidak berhenti sampai disitu saja, ketika alunan music di suarakan, 6 orang laki-laki yang berpakaian khas Banyuwangi (memakai pakaian serba hitam dan udeng khas Banyuwangi) berjalan menuju areal persawahan. Mereka bermaksud mengambil air suci dari sebuah mata air yang berlokasi di pinggir sungai (mata air ini terletak sekitar 2 KM dari lokasi gelar pitu). Aroma kemenyan yang merupakan sebuah syarat juga Nampak disepanjang jalan menuju air tersebut, yang asapnya menunjukkan jalan menuju lokasi air suci yang akan di ambil oleh seorang dalam dua wadah kendi yang nantinya akan di diamkan selama beberapa jam. Selain aroma kemenyan, hal yang menarik dalam perjalanan tradisi ini adalah si pembakar kemenyan yang tiba-tiba kesurupan ketika sampai di gubuk tengah sawah (gubuk tersebut di yakini merupakan padepokan milik Mbah Saridin). Pada sore hari, satu kendi air yang telah diisi penuh tersebut digunakan untuk memandikan kepala Barong. Sedangkan satu kendi lainnya di gunakan untuknyekar di makam leluhur desa Glagah dan keluarganya. Dalam tradisi ini, pengunjung juga akan disuguhi berbagai kesenian tradisional Banyuwangi, seperti Kuntulan, tari Gandrung, Barong, dan juga terdapat angklung paglak.
Setelah semua pagelaran di laksankan dalam Tradisi Gelar Pitu, tradisi terakhir yang di suguhkan adalah upaca arak-arakan Ketupat Gunggungan(seluruh ketupat tersebut diisi uang antara Rp. 1.000,- sampai Rp. 5.000,-) yang di arak mengelilingi kampung, pada saat yang sama, warga menyediakan masakan dalam Ancak di sepanjang jalan desa yang di lewati oleh arak-arakan hingga arak-arakan berakhir ditempat akhir yang telah ditentukan (untuk tahun ini berada di musola yang berlokasi di Dukuh Kopen Kidul).
Antara percaya atau tidak, hal mistik yang terjadi ketika di lakukan arak-arakan adalah jumlah uang yang berubah menjadi Rp. 10.000 – Rp. 20.000,- ketika ketupat tersebut sudah ada di genggaman warga. Tidak hanya hal tersebut yang unik, ketika ketupat yang di dapatkan berisi uang, maka dipercaya rejeki kita akan lancar dalam 1 tahun kedepan, begitu pula sebaliknya, jika ketupat kosong, maka rejeki kita akan menurun dalam 1 tahun ke depan.
Tradisi Gelar Pitu adalah satu dari banyak tradisi yang ada di Kabupaten Banyuwangi yang di gelar hanya satu tahun satu kali, jadi saying sekali jika tidak menyaksikan tradisi ini. So keep ur vacation for the next best tradition of Banyuwangi.
Sumber:

Tempointeraktif.com / Radar Banyuwangi



loading...

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon